Bawaslu Jabar Ajak Perempuan Awasi Politik Uang

December 06, 2018
Cherbon Feminist - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat (Jabar) mengajak seluruh perempuan di Jabar yang telah memiliki hak pilih untuk turut serta mewujudkan Pemilu 2019 yang bersih dan berintegritas, sehingga Pemilu 2019 tidak diwarnai praktik kotor, seperti politik uang (money politics).

Ajakan tersebut disampaikan Ketua Bawaslu Jabar Abdullah, seusai kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pemilu 2019 bagi Perempuan Tingkat Jabar di Hotel El Royale, Jalan Merdeka, Kota Bandung, belum tidak lama ini.

Menurut Abdullah, peran kaum perempuan sangat strategis untuk ikut serta mengawasi proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, terutama praktik politik uang. 

“Problem besar kepemiluan kita adalah menghadapi politik transaksional (money politics). Oleh karena itu, kami mengajak jaringan dan kelompok perempuan yang memiliki struktur organisasi yang cukup banyak ini sebagai modal penting dalam turut melakukan pengawalan pengawasan dan untuk melawan cara-cara praktik transaksional,” katanya.

Politik transaksional merupakan politik uang yang sering terjadi dalam setiap pemilu. Kerap kali kaum perempuan menjadi objek dari politik tersebut. Oleh karenanya, Lanjut Abdullah, kaum perempuan di Jabar, untuk menolak praktik politik uang demi Pemilu 2019 yang bersih dan berintegritas.

Abdullah mengingatkan, kaum perempuan di Jabar harus dapat berpartisipasi aktif mengawasi jalannya Pemilu 2019, salah satunya dengan cara melapor apabila menemukan atau ditawari uang oleh pihak-pihak tertentu.

"Mereka nanti bisa bersinergi dengan Bawaslu, mereka bisa mendokumentasikan, menginformasikan, bahkan melaporkan praktik kotor itu," tutupnya. (Arul)



Baca Juga

Bawaslu Jabar Ajak Perempuan Awasi Politik Uang Bawaslu Jabar Ajak Perempuan Awasi Politik Uang Reviewed by Cherbon Feminist on December 06, 2018 Rating: 5

Menyuarakan Kekerasan Seksual Melalui Tulisan

December 05, 2018
Oleh: Maryam Hito

Cherbon Feminist - Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini memang masih  belum mendapatkan perhatian yang lebih. Bahkan seringkali yang menjadi korban  malah justru disalahkan seperti kasus yang terjadi pada Baiq Nuril.

Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.

Padahal ia adalah korban pelecehan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah,  alih-alih mendapat perlindungan ia justru malah dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp 500 juta.  Kasus Baiq Nuril ini hanya satu dari sekian banyak nya kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi pada perempuan.

Dengan begitu menjelang kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP)  yang diperingati  setiap 25 November -10 Desember semua aktifis di seluruh Indonesia gerak bersama dalam mendesak DPR RI untuk mensahkan RUU Penghapusan Kekererasan seksual (PKS).

Selain itu Cherbon Feminist yang ikut bergabung dengan jaringan perempuan untuk kemanusiaan di Cirebon, juga melakukan upaya dalam mengurangi terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan melalui diskusi dengan tema “Ledies, Speak up”.

Dalam kegiatan yang di fasilitasi oleh Zahra Amin ini masing-masing peserta yang hadir menceritakan pengalaman nya terkait pelecehan bahkan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya, teman dan orang-orang disekitarnya.

Menurut penulis ini adalah kegiatan yang kreatif karena seperti yang dikatakan oleh Nurul Bahrul Ulum sebagai Penanggung jawab Cherbon Feminist Ladies, Speak Up ini memberikan ruang bagi perempuan untuk berani bicara mengenai pelecehan seksual yang dialaminya ataupun yang dialami oleh orang di sekelilingnya.

Sebab banyak perempuan yang ketika menjadi korban pelecehan memilih untuk diam dan mentoleransi perbuatan pelaku.  Bahkan kerapkali seseorang yang menjadi  korban pelecehan seksual justru tidak mengetahui bahwa dirinya telah  diperlakukan tidak baik. 

Senada dengan itu, Zahra Amin juga menyampaikan bahwa Pelecehan seksual bisa terjadi pada siapapun, baik di ruang privat maupun ruang publik. Dan kebanyakan para korban menganggap hal itu adalah aib sehingga mereka lebih memilih untuk diam dan  berdamai dengan dirinya. Ditambah lagi di Indonesia, budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga tidak heran ketika penyintas akhirnya memilih untuk tidak melaporkan kasus yang dialaminya.

Padahal dengan tidak menceritakan hal tersebut pada orang lain justru tindakan-tindakan pelecehan akan tetap eksis dan akan semakin banyak yang menjadi korban. 

Oleh karena itu,  penting sekali baik perempuan ataupun laki-laki untuk mengetahui mengenai bentuk kekerasan seksual dan juga berani bicara ketika mengalami tindakan kekerasan dari orang lain. karena kalau bukan kita, ya siapa lagi.

Menceritakan hal buruk yang terjadi pada penyintas memang bukan hal mudah, salah satu alasannya seperti yang saya sebutkan di atas, bahwa sebagian orang menganggap hal itu sebagai aib, masa lalu yang kelam sehingga tabu untuk dibicarakan.  

Melihat fenomena itu, pendidikan menulis suara perempuan menjadi salah satu alternatif dalam upaya memfasilitasi penyintas untuk berani bicara.  sebab, ketika ia tidak berani untuk melaporkan terkait pelecehan atas tubuhnya, penyintas bisa menceritalan hal tersebut lewat tulisan.

Kemudian dengan  tulisan tersebut  mampu menjadi alarm tanda bahaya bagi yang lain,  dengan begitu diharapkan setidaknya bisa mengurangi korban pelecehan seksual.  Mengingat pelecehan itu bukan hanya terjadi di dunia nyata tetapi juga di dunia maya seperti halnya yang terjadi pada artis dangdut koplo Via Valen.

Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan adalah momentum bagi kita warga negara, baik laki-laki maupun perempuan untuk gerak bersama membela, mendukung dan juga  menjadi pendengar yang aktif bagi para penyintas sehingga mereka berani untuk bicara.



Baca Juga:  

Menyuarakan Kekerasan Seksual Melalui Tulisan Menyuarakan  Kekerasan Seksual Melalui Tulisan Reviewed by Cherbon Feminist on December 05, 2018 Rating: 5

TAUHID ITU ANTI PATRIARKHI

April 20, 2018


Oleh: Dr. Nyai Nur Rofiah, Bil Uzm
(Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an, Feminis Muslim Indonesia, Perempuan Ulama)



Cherbon Feminist - Pada masa Pra-Islam, masyarakat Jahiliyah menganut sistem patriarkhi studium mentok. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan, perempuan dijadikan jaminan hutang, hadiah, mahar, waris, dan lain-lain, layaknya benda mati yang tidak bernyawa, apalagi berakal dan berhati.

Pada masa itu, perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali laki-laki. Ayah bahkan bisa menikahi anak perempuan kandungnya, anak laki-laki bisa menikahi ibu kandungnya, dan perkawinan sedarah lainnya. Sementara perkawinan dimaknai sebagai kepemilikan mutlak laki-laki atas perempuan.

Islam mendobrak relasi ini dan menegaskan bahwa perempuan bukan hamba laki-laki, sebab keduanya sama-sama punya status melekat sebagai hanya hamba Allah (Abdullah). Laki-laki juga bukan patron perempuan sebab keduanya sama-sama mengemban amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl sehingga harus jadi mitra dlm memakmurkan bumi.

Perkawinan tidak melunturkan status dan amanah melekat ini. Islam pun mengubah relasi suami-istri dari patron-klien menjadi kemitraan. Pernikahan adalah berpasangan (zawaj) yang bertujuan melahirkan ketenangan jiwa (sakinah, seks hanyalah sarana, bukan tujuan) yang dilandaskan pada relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah, bukan kekuasaan) (Ar-Rum/30:21).

Dalam berhubungan seksual, suami dan istri itu bagaikan pakaian (libas) bagi pasangannya (Al-Baqarah/2:187) dan sebaik-baik pakaian adalah taqwa (libasuttaqwa, al-A'raf/7:26).

Jadi, iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan (tauhid) mempunyai cara pandang atas relasi laki-laki dan perempuan yang bertentangan dengan cara pandang patriarkhi. 

Karenanya, 1400 tahun lalu Allah sudah mengisyaratkan bahwa iman pada Allah menjadi syarat kemampuan untuk meyakini bahwa perempuan bisa menjadi mitra setara dalam kebaikan:

"Laki-laki dan perempuan yang BERIMAN, mereka adalah saling menjadi auliyaa' (penjaga/penolong/pelindung) satu sama lain, bahu membahu memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan." (at-Taubah/9:71).

Sepertinya hanya dengan cara ini, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki  bisa bareng-bareng keluar dari kezaliman menuju cahaya (minadzdzulumati ilannur) sehingga bisa "Habis gelap, terbitlah terang."

Selamat Hari Kartini buat perempuan dan laki-laki yang yakin keduanya mampu jd mitra dalam kebaikan.

Semoga kita bisa terus-menerus memupuk tauhid dan iman agar punya daya dorong kuat untuk melahirkan kemaslahatan dan kebajikan di muka bumi, termasuk di rumah tangga. Aamiin YRA.

Walahhu a'lam bishshawab.


Sumber: Status Facebook Dr. Nyai Nur Rofiah, Bil Uzm


Baca Juga :

PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID
WOMEN MARCH DAN PERJUANGAN HAK-HAK PEREMPUAN
NABI MUHAMMAD SAW, FEMINIS SEJATI
GUS DUR MEMBELA PEREMPUAN
DELIK ZINA DAN PERKOSAAN DALAM RKUHP
TAUHID ITU ANTI PATRIARKHI TAUHID ITU ANTI PATRIARKHI Reviewed by Cherbon Feminist on April 20, 2018 Rating: 5

PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID

March 29, 2018
Oleh: KH. Husein Muhammad

(Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangin Cirebon, Pendiri Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2007, penerima Award (penghargaan) dari Pemerintah AS untuk “Heroes To End Modrn-Day Slavery” tahun 2006, namanya tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center tahun 2010, 2011-2012, Tokoh Feminis Muslim Indonesia)


Cherbon Feminist - Saya menemukan seorang perempuan ulama atau ulama perempuan sekaligus aktifis sosial politik. Namanya Nazirah Zainuddin. Lebih dari sebagai seorang aktivis, bagi saya ia adalah perempuan cendikia dan "Alimah". Ia lahir di Aleppo, Irak (1908-1976) yang kemudian bermukim di Mesir. Tidak sekedar itu, ia adalah salah seorang feminis terkemuka di dunia muslim. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh feminis Muslim Mesir lainnya seperti Malak Hifni Nashif, Aisyah Taimuriyah, Nabawiyah Musa, May Ziyadah dan Huda Sya’rawi, Rifa'ah al-Tahtawi, Mohammad Abduh, Qasim Amin dan Sa’ad Zaghlul, dan Tahir al-Haddad di Tunisia, untuk menyebut beberapa nama saja.


Nazirah, seperti para perempuan aktivis lainnya, bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas, terutama perempuan. Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan. Cara pandang merendahkan dan diskriminatif para ahli tafsir ia kritik habis-habisan. "Tuhan tak mungkin bersikap diskriminatif terhadap manusia", katanya. Baginya perempuan punya hak sebagaimana yang dimiliki laki-laki dan berhak menjadi apa saja. Perempuan juga berhak menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi. Perempuan berhak menjadi "mujtahid" (mujtahidah).



Nazirah menulis dua buku untuk membicarakan persoalan ini; “Al-Sufur wa al-Hijab” dan “Al Fatat wa al-Syuyukh”.  Secara literal “Al-Sufur” berarti tanpa kerudung, terbuka dan “al-Hijab” berarti pembatas atau tirai, meski kemudian berkembang menjadi bermakna jilbab atau cadar. Sedangkan Al-Fatat wa al-Syuyukh, berarti perempuan muda dan orang-orang tua.



Dalam buku terakhir ini, Nazirah menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak dalam menafsirkan al-Qur’an dan menulis fiqh. Katanya :


أجل إنه كما كان للمرأة أن تشترك فى الحكم الشرعي، أن لها الحق الصريح أن تشترك فى الاجتهاد الشرعي تفسيرا وتأويلا. بل إنها أولى من الرجل بتفسير الايات القائم فيها واجبها وحقها لأن صاحب الحق والواجب أهدى اليهما من غيره سبيلا.


“Tentu, jika perempuan punya hak untuk terlibat dalam hukum-hukum agama, dia juga berhak dalam berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (pemahaman esoterik). Bahkan perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”. (hlm. 179).



Buku Al Sufur wa al Hijab tulisan Nazhirah Zainuddin, adalah salah satu di antara buku yang perlu dibaca. Meskipun ia telah menjadi klasik, tetapi tetap saja relevan dengan situasi kini dan di sini kita. Ia dapat menjadi bekal pengetahuan para aktifis perempuan, terutama yang beragama Islam.



Melalui buku ini dia bekerja secara intelektual melakukan analisis kritis terhadap pandangan-pandangan konvensional tersebut. Nazirah, pada zamannya, perempuan paling menonjol sekaligus kontroversial, yang melakukan kajian tafsir feminis secara ilmiyah dan dengan perspektif dan ruh perempuan muslimah.


Hal menarik dari buku ini adalah bahwa Nazhirah melakukan debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Al-Azhar mengenai hal-hal yang dikajinya. Al-Azhar adalah Universitas Islam tertua, didirikan lebih dari satu millenium, dan dipandang sebagai sumber pengetahuan Islam paling otoritatif. Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama pada saat itu dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda.


Catatan: Tulisan tersebut diambil dari status facebooknya Kyai Husein Muhammad atas ijin penulis. :) 


Baca Juga


PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID PEREMPUAN BERHAK MENJADI MUJTAHID Reviewed by Cherbon Feminist on March 29, 2018 Rating: 5

WOMEN MARCH DAN PERJUANGAN HAK-HAK PEREMPUAN

March 21, 2018



Oleh: Fitri Nur’azizah

(Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Aktivis Cherbon Feminist, Pegiat PELITA Perdamaian)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional sejak tahun 1978 dan PBB pun menganjurkan bagi semua Negara untuk ikut memperingatinya sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Jika melihat sejarah disebutkan Hari Perempuan Internasional ini pertama kali diperingati oleh Negara Amerika Serikat tepatnya di New York pada tanggal 28 Februari 1909. Namun nyatanya PBB baru menetapkan 69 tahun pengakuan hak-hak perempuan, yang kemudian secara serentak Negara-negara di dunia pun turut serta merayakannya.

Pada tahun ini mulai dari tanggal 3 Maret, Hari Perempuan Internasional sudah mulai diperingati di berbagai Negara salah satunya Indonesia. Event yang dikenal dengan Women March ini mengusung delapan tuntutan kepada pemerintah yaitu pertama, mengusung hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan berbasis gender. Kedua,  mengesahkan hukum dan kebijakan yang melindungi perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok difabel, kelompok minoritas gender dan seksual dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Ketiga, menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender.

Keempat, menghentikan intervensi Negara dan masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas warga negera. Kelima, menghapus stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas, dan status kesehatan. Keenam, menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, dan pekerjaan. Ketujuh,  menyelesaikan akar kekerasan yaitu pemiskinan perempuan, khususnya perempuan buruh industri, konflik SDA, transpuan, pekerja migran, pekerja seks, dan pekerja domestik  dan yang terakhir mengajak masyarakat untuk berfartisipasi aktif menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender di lingkungan hukum, lingkungan hidup, pendidikan dan pekerjaan.


Dalam rangka mereflekasikan Hari Perempuan Internasional setiap Negara mempunyai kegiatan yang berbeda-beda, ada yang melakukan pawai, aksi, mengadakan pameran seperti yang dilakukan oleh perempuan Australia yang mengadakan pameran di Museum Sejarah Jakarta dengan mengambil tema Fait Fashion Fusion. Dalam pameran itu ditampilkan sejumlah mode, termasuk baju renang atau burqini dan penampilan kisah-kisah pribadi perempuan Australia.


Begitupun di Cirebon berbagai lembaga atau komunitas yang fokus terhadap isu perempuan, ikut serta merefleksikan Hari Perempuan Internasional 2018. Women Crisis Center (WCC) Balqis Cirebon merefleksikannya dengan turun ke berbagai pelosok desa untuk melakukan penyadaran terkait menjaga kedaulatan tubuh melalui pendidikan publik. Gabungan aktivis perempuan ekstra kampus seperti Kopri, Kohati, Sarinah dan lain sebagainya melakukan aksi turun ke jalan sekaligus audiensi kepada pemerintah DPRD Kota Cirebon terkait pemenuhan hak-hak perempuan.



Komunitas Cherbon Feminist yang baru berdiri 3 bulan terakhir tak ketinggalan. Tanggal 8 maret 2018 bersama kurang lebih 69 organisasi melalukan long march sekaligus audiensi mulai dari DPR RI, ILO, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, hingga Istana Negara yang tergabung dalam aksi Parade Juang Perempuan Indonesia. Dalam aksi tersebut perempuan bergerak melawan berbagai bentuk diskriminasi, intoleransi, dan pemiskinan terhadap perempuan. Aksi berlanjut pada tanggal 17 maret 2018 dengan bentuk yang berbeda. Cherbon Feminist berkolaborasi dengan para pegiat seni dan organ perempuan lainnya untuk merefleksikan Hari Perempuan Sedunia melalui pertunjukan seni ekspresi dalam menyuarakan hak-hak perempuan. Kegiatan tersebut berlangsung tepat pada malam minggu di halaman Balai Kota Cirebon dengan mengusung tema “Ekspresi Perempuan Untuk Perubahan”.  





Tujuan dari setiap kegiatan tersebut bukan sebatas seremonial belaka, akan tetapi para feminis terus bertekad ingin memperjuangkan kehidupan yang berkeadilan, kesetaraan dan membangun kesadaran bersama bahwa laki-laki dan perempuan itu mempunyai hak yang sama sebagai manusia. Sebab, walaupun saat ini perempuan sudah mempunyai ruang untuk mencapai cita-citanya sebagaimana laki-laki, akan tetapi bentuk diskriminasi, kekerasan dalamrumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dan yang lainnya masih banyak terjadi.

Seperti yang dilansir Women Crisis Centre (WCC) Mawar Balqis pada 2017, dalam catatannnya disebutkan bahwa ada 140 kasus kekerasan, terdiri dari 85 kekerasan seksual, 50 kasus KDRT, 5 kasus trafficking (perdagangan) dan penelantaran terhadap perempuan. Dari  semua kasus tersebut hampir 90 persen dilakukan oleh orang terdekat dengan modus pengancaman dan pemaksaan. (news.okezone.com, sepanjang 2017 terjadi 140 kasus kekerasan perempuan, tertinggi dialami pelajar). Meski angka ini relatif rendah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi angka tersebut bias saja meningkat, apabila tak ada peningkatan kesadaran terhadap masyarakat soal antisipasi apabila terjadi kekeresaan yang menimpa perempuan.

Kekerasan memang bukan hanya terjadi pada perempuan saja, akan tetapi pada manusia lain pun ada. Namun jika melihat data di atas, jelas bahwa kekerasan, penganiayaan dan pelecehan banyak terjadi terhadap perempuan. Menurut Kyai Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein bahwa tindakan semacam itu muncul karena adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Misalnya kontruksi sosial yang membentuk laki-laki berkuasa atas perempuan. Dengan begitu perlu adanya perubahan-perubahan pada sistem kebudayaan yang selama ini berkembang untuk pada gilirannya dapat diwujudkan suatu kontruksi sosial baru yang sejalan dengan hak asasi manusia. (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; hlm. 225)

Selain itu juga perlu adanya penyadaran terhadap perempuan itu sendiri bahwa dirinya berhak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Misalnya, salah satu dari 8 tuntutan Women March kepada pemerintah di atas adalah menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Selama ini sebagian perempuan merasa pasrah dan tidak berdaya terhadap berbagai kekerasan yeng terjadi pada dirinya,  mulai dari kekerasan fisik, psikis juga verbal/mental. Hal ini disebabkan oleh kontruksi sosial yang menganggap bahwa perempuan itu makhluk lemah, penyebar fitnah dan penggoda atau pelakor yang sekarang lagi nge-trend, sehingga ketika perempuan mendapatkan serangan berbagai kekerasan dengan alasan apapun masyarakat akan tetap menyudutkannya.

Pemerintah Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Dengan begitu pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan hukum perlindungan terhadap perempuan, salah satunya dengan cara segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual, RUU pekerja rumah tangga dan juga segera menghapus hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.

Ketua komnas perempuan Azriana Manalu mengungkapkan, sepajang 2017 kekerasan seksual meningkat, terutama diranah privat yang pelakunya adalah orang terdekat korban, di ranah publik, pemerkosaan terus terjadi dan kian serius,  ditambah lagi dengan kebijakan dan perundang-undangan, ada yang mengancam kekerasan perempuan lewat kriminalisasi atas tubuh perempuan. hal ini sangat jauh dengan pernyataan Presiden Jokowi Dodo bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan luar biasa. Maka, momentum Women March ini menjadi waktu yang pas untuk menuntut pemerintah agar segera mensahkan RUU penghapusan kekerasan seksual. (koran kompas, minggu, 4 Maret 2018, Bangkit Melawan Kekerasan).

Dengan begitu diharapkan ekpresi dan keberadaan perempuan itu bisa lebih diakui. Selain itu, masyakat juga mesti ikut berpartisipasi dalam memberi semangat terhadap korban kekerasan, melindungi dan menghapus tindakan kekerasan dalam lingkungan hidup, kesehatan, pekerjaan juga pendidikan.

Sejalan dengan itu, kekerasan, penganiayaan dan pendiskriminasian terhadap perempuan ataupun laki-laki, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun sehingga perlindungan dan keamanan baik dari pemerintah, pendidikan  juga dari lingkungan hidup, seharusnya berlaku kepada semua manusia tanpa memandang dari sisi perbedaan gender, agama, ras suku dan sebagainya.

Berbicara persoalan perempuan memang tidak akan pernah habis sepanjang kehidupan ini masih berlangsung. Maka dari itu masih perlu perjuangan panjang untuk mencapai kehidupan yang adil, setara dan saling cinta kasih sesama manusia. Sebelum menutup tulisan ini saya mengucapkan selamat Hari Perempuan Internasional yang ke 107, semoga semua perempuan di dunia bisa menjadi perempuan yang mandiri, bisa berekspresi dengan bebas dan dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya.

WOMEN MARCH DAN PERJUANGAN HAK-HAK PEREMPUAN WOMEN MARCH DAN PERJUANGAN HAK-HAK PEREMPUAN Reviewed by Cherbon Feminist on March 21, 2018 Rating: 5
Powered by Blogger.